Jumat, 25 Januari 2008

Ade" karampuang ko bulu"he Sinjai

KARAMPUANG.
Adalah kawasan adat di kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, yang tidak banyak dikenal luas. Namun ternyata, Karampuang adalah sebuah desa yang sudah ada sejak puluhan ribu tahun lalu, hal ini dapat kita lihat dari Berbagai situs peninggalan sejarah leluhur orang karampauang, yang menjadi misteri dan belum dapat terungkap sepenuhnya.

Dengan menempuh perjalanan sekitar satu jam dari pusat kota kabupaten sinjai, dimana desa karampuang letaknya berada di bebukitan yang ketianggianya sekitar seribuh meter dari permukaan laut.

Desa karampuang yang hanya di huni sekitar 70 kepala keluarga, dimana masyarakatnya begitu, mengutamakan hidup harmonis.

Masyarakat adat Karampuang cenderung masih sangat tertutup, Bagi mereka dunia luar bisa merusak adat dan tradisi yang mereka jaga selama puluhan ribu tahun.

Karampuang adalah desa purba yang sudah ada sejak zaman megalitik atau zaman batu, sebagai Bukti adalah goresan Situs purba bernama Manusia Kangkang.

Selain itu terdapat Kolam tua di desa karampuang, dimana kolam itu digunakan untuk memandikan balita, yang diyakini masyarakat karampuang, bila air melimpah dikolam, maka warga akan berebut memandikan bayinya, karena airnya akan membawa berkah.

Di desa karampuang juga terdapat ribuan makam purba yang usianya suda puluhan ribu tahun, serta situs yang dikeramatkan yaitu situs batu lapa, dimana masyarakat karampuang menyakini jika manusia pertama dibumi ini adalah berasal dari karampuang.

Konon ceritanya puluhan ribu tahun lalu, sosok seorang wanita atau dewi, yang disebut dengan to manurung, membuat satu istana dan membentuk masyarakat adat karampuang, setelah itu sang wanita "to manurung" kembali kelangit dimana awalnya ia berasal.

Mitos to manurung itulah, yang terus dipertahankan oleh masyarakat adat karampuang, dan dijadikan sebagai pemacu semangat sumber penggerak kehidupan mereka.

Kendati sudah berusia 14 abad, Toma Toa "rumah tua" masih berdiri kokoh. Seluruh kegiatan pemerintahan di Karampuang berpusat di rumah yang mereka sangat sakralkan ini.

Berbeda dengan rumah adat Bugis pada umumnya, yang lebih menonjolkan sifat ke laki-lakian, sebaliknya Toma Toa melambangkan keangunan dari sosok perempuan. Masyarakat Karampuang adalah matrilinial. Sesuatu yang unik dan langka di Sulawesi Selatan.

Begitu sakralnya rumah ini, bila ingin memperbaiki Toma Toa, mereka harus melakukan ritual tertentu. Tidak sebarang orang bisa tinggal di Toma Toa. Hanya pemangku adat.

Arung adalah pemimpin masyarakat adat Karampuang yang berhak tinggal di Toma Toa. Ia sangat disegani dan hanya sesekali berbicara.

Karena sepatah kata yang keluar dari mulutnya adalah kebijakan yang harus ditaati. Tentunya Arung tidak boleh cacat moral. Arung tidak sendiri dalam memimpin. Ia dibantu 3 pemangku adat lain, Salah satunya Gella.

Dimana Gella tinggal tidak jauh dari Toma Toa, bila Arung adalah raja, maka Gella adalah perdana menteri yang juga bertanggung jawab, soal hukum dan peradilan di Karampuang.

Di tangan Gella, ketertiban Karampuang terjaga. Ia tidak segan menghukum siapapun yang melanggar aturan adat yang berlaku.

Ada dua lagi yakni Sandro dan Guru. Sandro harus dijabat seorang wanita. Dialah yang mengatur soal kesejahteraan rakyat. Selain Sandro ada juga Guru yang mengatur soal pendidikan.

Keempat pemangku adat inilah yang mengatur jalan roda kehidupan di Karampuang. Mereka sangat dihormati, namun juga bertindak bijaksana. Masyarakat Karampuanglah yang memilih mereka dan pada waktu tertentu masyarakat pula yang akan menggantinya. Biasanya 40 tahun sekali.

Setiap memasuki musim tanam padi, masyarakat Karampuang menggelar hajatan besar yang mereka namakan mapugao hanuai, hajatan menyambut masa bercocok tanam setelah mereka menikmati panen berlimpah.

Tradisi adat istiadat masyarakat karampuang, hanyalah sebagian dari objek yang ada di kabupaten sinjai, selain itu masyarakat yang bermukim di daerah pesisir juga mempunyai tardisi yang di beri nama marimpa salo, dimana tradisi marimpa salo digelar untuk merayakan panen hasil laut.

Tradisi marimpa salo digelar masyarakat yang bermungkim di daerah pesisir pantai sinjai utara, dan sinjai timur, dimana setiap tahunya mereka mengelar acara tradisi menghalau ikan dari hulu hingga ke muara sungai.

Saat perayaan marimpa solo digelar, juga dibarengi dengan pementasan tari appadekko yang menggambarkan ritual masyarakat nelayan, menikmati hasil tangkapan ikan, selain itu juga diselingi dengan ketangkasan adu silat, sebagai ungkapan kegembiraan masyarakat pesisir, setelah mereka menikmati hasil tangkapan selama setahun mereka berjuang mencari nafkah di lautan lepas.

Kabupaten sinjai yang dihuni oleh komunitas suku bugis, memiliki banyak aneka ragam tradisi adat dan budaya, serta di hiasi beberapa lokasi objek wisata, diantaranya sembilan pulau kecil yang tersebar di perairan laut sinjai.

Selain itu juga terdapat objek wisata situs purbakala yang lokasinya berada di bebukitan, yaitu objek wisata gojeng atau batu page, dimana terdapat banyak batu situs peninggalan raja-raja, dan didukung dengan keindahan panorama alam yang selama ini dijadikan sebagai objek wisata, selain itu kabupaten sinjai. juga didukung dengan kekayaan hasil laut, serta hasil pertanian dan perkebunan.

Rabu, 23 Januari 2008

Benteng panyuaa rii anging mamiri

Mangkasara” jika di eja dengan mengunakan bahasa Indonesia adalah Makassar, dan dikenal dengan nama Kota Daeng, atau Kota Angin Mamiri., yang dulunya sempat berganti nama jadi Ujung pandang, namun setelah melalui hasil rembuk dan rapat para tokoh adat serta dewan legislatif, akhirnya nama Makassar, kembali digunakan.

Selain dikenal dengan keindahan panorama senja pantai losari, Makassar juga memiliki banyak lokasi objek wisata lainya, diantaranya pulau lae-lae, kayangan, barrang caddi, barrang lompo, dan pulau samalona.

Rii Mangkasara” (Makassar), juga terdapat beberapa lokasi objek wisata peninggalan kerajaan serta bangunan peninggalan penjajah “compony”, sepertihalnya: benteng Ujung pandang atau lebih dikenal dengan Fort rotterdam, yang dibangun pada tahun 1545, oleh raja gowa yang bernama Amanrigau daeng bonto karaeng lakiung.

Di dalam area lokasi benteng fort Rotterdam, terdapat bebera bangunan bersejarah peninggalan belanda, yang saat ini dijadikan musium laga-ligo, dimana didalam bangunan ini, tersimpan barang-barang antik peninggalan raja-raja dan sisa-sisa penjajahan perang.

Selain fort Rotterdam, juga terdapat benteng somba opu, makam raja-raja tallo, istana raja bongaya, dan puluhan bangunan tua peninggalan zaman penjajahan belanda, diantaranya bangunan tua yang saat ini difungsikan sebagai gedung kantor pengadilan negeri makassar.

Selain itu makassar, juga mempunyai anjungan yang dilengkapi sarana rekreasi dan olah raga, yaitu lapangan karebosi, yang didalamnya terdapat tujuh kuburan yang dikeramatkan sebagian masyarakat, yaitu kuburan tujua (tujuh saudara), dan di makassar, juga dapat kita jumpai makam pangeran di Ponegoro, serta tugu pembebasan irian barat (Monumen mandala).

Sebagai pusat pemerintahan provinsi sulawesi selatan, “ibu kota”, tentunya kota makassar, dihuni oleh masyarakat dari berbagai etnis, dan agama, hal ini dapat kita lihat dengan berbagai aneka ragam tradisi adat, budaya, yang diperingati warga makassar setiap tahunya.

Guna memperlancar roda perekonomian di sulawesi selatan, makassar sebagai ibu kota, juga dilengkapi dengan prasarana pelabuhan penumpang dan peti kemas (pelabuhan sukarno hatta), bandara hasanuddin yang bertaraf standar internasional, serta pelabuhan tradisional paotere.

Salah satu kegiatan wisata yang setiap tahunya digelar pemerintah kota makassar, dan telah menjadi jadwal kalender wisata tahunan, adalah perhelatan wisata bahari, dimana dalam perhelatan wisata bahari, dapat terlihat ketangguhan orang-orang sulawesi, menaklukan ombak di samudera lepas, dengan hanya menggunakan perahu layar tradisional.

Wisata bahari yang setiap tahunya digelar di pantai losari, menyajikan berbagai kegiatan, diantaranya lomba perahu jolloro, atau perahu tempel, lomba renang pantai, dimana pesertanya melakukan star dari pulau lae-lae hingga ke bibir pantai losari, yang jarak tempuhnya sekitar satu kilo meter, dan lomba perahu layar tradisional "sandeq", yang mengarungi lautan lepas samudera sulawesi.

Dimana inti dari perhelatan wisata bahari, tentunya lebih memperkenalkan kekayaan alam dan tradisi budaya Sulawesi selatan, serta menghormati orang-orang terdahulu "Bugis-makassar" yang dikenal dengan pelaut tangguh.

Kamis, 17 Januari 2008

Bantimurung rii Butta salewangang

Sejuknya udara dan indahan alam bantimurung, tentunya jadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang yang telah menginjakan kakinya di lokasi wisata alam bantimurung.

Gemercik suara air yang jatuh dari bebatuan, dan keunikan cairan busa yang keluar dari dalam pori-pori batu dinding gua, dan mengeras mengumpal berbetuk runcing (stalaktit) yang ada di dalam dinding gua mimpi, serta beraneka ragam specis kupu-kupu, tentunya semakin membuat kita betah terus berada di bantimurung.

Wisata alam batimurung, adalah salah satu objek wisata yang ada di kabupaten Maros, yang selama ini jadi objek wisata andalan yang ada di provinsi Sulawesi Selatan.

Selain objek wisata bantimurung, di bumi Butta salewangang, atau dikenal dengan kabupaten Maros, juga terdapat beberapa lokasi objek wisata alam lainya, seperti gua-gua peninggalan bersejarah di lokasi wisata alam camba, yang memiliki panorama keindahan bebukitan, dimana banyak berkeliaran binatang sepeti monyet dan beraneka ragam burung yang setiap harinya dapat di jumpai di wilayah hutan.

Belum lagi keindahan alam lokasi objek wisata alam sumpang labbu", serta objek wisata bersejarah leang-leang, yang setiap harinya ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara.

Banyaknya lokasi objek wisata alam yang ada di bantimurung, tentunya menjadi salah satu penunjang terbesar kas daerah tersebut, namun bukan saja sektor pariwisata yang menjadi andalan pemerintah daerah Maros.

Struktur tanah pegunungan yang mengandung unsur semen dan batu marmer yang ada di bumi Butta salewangang, tentunya juga menjadi andalan di sektor pertambangan, yang tentunya jadi pemasok kas APBD kabupaten Maros.

"Tau ugi ri butta salewangang"
Masyarakat Maros yang sebagian besar adalah tau ugi atau orang bugis, sangatlah menghargai adat dan menjujung tinggi tradisi budaya siri "malu", dimana mereke lebih mengutamakan persaudaraan.

Sebagian besar penduduk Maros, hidup dengan menggarap sawa (bertani), selebihnya menggarap kebun, tambak, wiraswasta, serta pegawai dikantor-kantor pemerintah, hal ini disebabkan hampir enam puluh persen dataran kabupaten maros, adalah daerah pertanian "sawa".

Keuletan masyarakat Maros, dalam bekerja dan membangun usaha, dapat dilihat dengan banyaknya orang maros yang sukses mendirikan usaha, baik didaerahnya sendiri, maupun di daerah perantauan.

Hampir semua daerah di bumi pertiwi ini, terdapat perantau orang maros, bahkan tidak sedikit dari tau marusu " orang maros", sukses dinegara luar menjadi tenaga kerja (TKI), seperti halnya di negara tetangga malaysia, dan arab saudi.

Walaupun orang Maros, sukses di daerah perantauan, namun tau marusu, tidak akan pernah melupakan daerah mereka, hal ini tentunya di karenakan, mereka telah menanamkan rasa keciantaanya terhadap daerah "butta salewangang".

Minggu, 13 Januari 2008

Masigi toa engka rii kota Palopo

Istana datuk Luwu, adalah salah satu bangunan tua peninggalan kerajaan Luwu, yang hingga saat ini masih berdiri kokoh di tengah-tengah jantung kota Palopo.

Selain istana datu Luwu, atau dikenal dengan musium Batara guru, juga masih ada bukti sejarah lain yaitu, lokasi pemakaman raja-raja Luwu, yang disebut Lokkoe, serta bangunan masjid tua (Masjid Djami).

Menurut catatan sejarah, Masjid Djami adalah salah satu bangunan masjid tertua yang ada di Provinsi Sulawesi selatan, bangunan ini dibangun pada abad empat belas masehi, saat masuknya syiar islam ke tana Luwu.

Konon ceritanya, dinding tembok bangunan Masjid Djami yang ketebalanya menghampiri satu meter itu, dibuat oleh orang-orang terdahulu, dengan menggunakan batu alam, serta cairan putih telur, yang digunakan sebagai bahan perekat.

Sebagai penopang atap bangunan, terdapat satu tiang kayu bundar menyerupai batang pohon, yang tertancap ditengah-tengah bangunan, dan menurut cerita, dahulu tiang itu adalah sebuah pohon yang tumbuh ditengah-tengah bangunan, dimana pohon itu dinamai batang pohon cannaguri.

Entah betul atau tidak menegenai cerita pohon cannaguri itu, namun di zaman sekarang ini, tanaman pohon cannaguri yang banyak tumbuh di tana Luwu, tidak-lah sebesar dan setinggi dengan tiang penopang yang ada pada Masjid Djami.

Selain sisa-sisa bangunan bersejarah peninggalan raja-raja yang hingga kini masih ada di kota Palopo, juga banyak terdapat objek wisata alam, seperti bukit sampoddo, puncak gunung battang, serta permandian alam sungai latuppa,

Khusus untuk daerah permandian alam latuppa, saat ini dijadikan sebagai lokasi agro wisata, karena tepat tersebut didukung dengan pemandangan alamnya yang indah, serta udaranya yang sejuk,

Di latuppa, hampir delapan puluh persen area pertanahanya, digarap oleh masyaraka jadi area perkebunan, selain perkebunan kakao, masyarakat latuppa sejak dahulu menanaman pohon yang menghasilkan buah-buahan, misalnya buah rambutan, durian, manggis, langsat dan banyak lagi buah-buahan lainya.

Sementara didataran pesisir kota Palopo, juga terdapat tempat wisata pantai, yaitu pantai labombo, serta terdapat juga lokasi wisata pulau, yang diberi nama pulau libukang.

KERAGAMAN PENDUDUK KOTA PALOPO
selain menggunakan bahasa indonesia, sebagian besar penduduk kota Palopo, menggunakan bahasa Bugis, selebihnya mengunakan bahasa Luwu dan Toraja, dimana kota Palopo juga, dihuni oleh berbagai macam suku, golongan, dan agama. tepatnya di kota Palopo, adalah daerah multi etnis.

Walaupun dihuni beragam suku, golongan, dan agama, namun masyarakat kota Palopo, tetap hidup tentram dan damai secara berdampingan, dimana mereka saling menghargai antara agama satu dengan agama lainya.

Kebresamaan yang diajarkan secara turun temurung oleh orang-orang terdahulu, hingga saat ini terus dipertahankan oleh masyarakat kota Palopo, hal ini dapat kita lihat pada simpol persatuan "TODDOPULI TEMMALARA". yang tertulis di tugu badik, yang ada di halaman istana datu Luwu.

Berdasarkan catatan sejarah, kota palopo, dulunya adalah pusat pemerintahan kerajaan Luwu, yang dipimpin oleh raja Andi Djemma, "DATU LUWU", dimana saat zaman kerajaan, daerah Luwu "Bumi Sawerigading", masih menyatu sebelum dimekarkan jadi tiga kabupaten yaitu, kabupaten luwu, luwu utara, luwu timur, plus satu kota, yaitu kota Palopo.

Sabtu, 12 Januari 2008

Tau dongi rii batara gurua

SELAMAT DATANG DI BUMI BATARA GURU.
Tulisan kata penyambutan inilah yang kita baca, saat akan memasuki perbatasan wilayah kabupaten luwu timur.

Kabupaten luwu timur, dulunya adalah bahagian dari kabupaten luwu, dimana pusat pemerintahanya berada di palopo, yang saat ini telah berubah jadi kota palopo, namun dengan adanya pemekaran daerah, maka toko-toko masyarakat di lima kecamatan, yaitu kecamatan malili, mangkutana, wotu, nuha, dan kecamatan tomoni, mendesak kepada pemerintah provinsi sulawesi selatan, dan pemerintah pusat, agar daerah mereka dimekarkan.

Setelah melalui perjuangan panjang berbagai elemen, termasuk mahasiswa yang mewakili lima kecamatan tersebut, akhirnya kerja keras mereka membuahkan hasil, dan jadilah kabupaten luwu timur, dimana pusat pemerintahanya berada di kecamatan malili.

Luwu timur, sangatlah kaya akan sumber daya alamnya, dimana daerah ini memiliki tanah yang mengandung logam besi, dan telah puluhan tahun digarap secara bergantian, oleh beberapa perusahaan pertambangan asing. seperti PT. Bethel, Bravo, dan saat ini pemegang kontrak karya penggarapan lahan tambang nikel, adalah PT. INCO Tbk, perusahaan pertambangan asing yang berpusat di Kanada.

Bukan hanya pertambangan, namun kabupaten luwu timur, juga sangatlah ditunjang dengan komoditi hasil pertanian, perkebunan dan hasil laut, belum lagi area hutan yang sangat lauas, juga menjadi salah satu penunjang daerah tersebut.

Selain memiliki kekayaan alam seperti tambang, pertanian, perkebunan, perikanan, dan hutan yang luas, kabupaten luwu timur, juga dihiasi dengan berbagai tradisi adat dan budaya.

Demikian juga dengan keindahan alam, luwu timur juga memiliki banyak tempat objek wisata, salah satunya di kecamatan nuha, atau lebih populer dengan nama Sorowako.

Di Sorowako, terdapat tempat wisata yang namanya danau matano, yang menyiapkan beberapa tempat rekreasi, seperti pantai kupu-kupu, salonsa, dan pantai semasang.

Selain di danau matano, luwu timur, juga memiliki objek wisata yaitu danau towoti yang berada di desa timampu, kecamatan towoti, permandian alam mata buntu di kecamatan wasuponda, goa-goa peninggalan bersejarah, pulau bulu poloe, seta memliki objek wisata pantai dengan keindahan pasir putih.

Kabupaten luwu timur, dihuni oleh berbagai macam suku, namun hampir sebagian besar penduduknya adalah suku bugis, selebihnya adalah orang toraja, jawa, bali dan suku padoe.

Walaupun dihuni beraneka ragam suku serta bermacam-macam keyakinan agama, namun masyarakat luwu timur, sangatlah menghargai yang namanya toleransi beragama, dan tidak mempermasalahkan perbedaan asal usul.

Masyarakat adat dongi yang terpinggirkan
di kabupaten luwu timur, juga ada salah satu komonitas masyarakat adat dongi, yang kebanyakan dari mereka bermukim di daerah hutan dan pegunungan, dimana selama ini masyarakat adat dongi, mengklaim dirinya adalah penduduk asli nuha.

Menurut sejarah masyarakat adat dongi, kata dongi itu diambil dari nama buah dengeng, yang pohonya banyak tumbuh di hutan-hutan wilayah luwu timur. dimana moyang mereka dahulu, bertempat tinggal di sekitar hutan yang bayak di tumbuhi pohon dongi, dan mereka melakukan kehidupan sistim bercocok tanam.

Jika kita cerrmati bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat adat dongi, sangatlah berbeda dengan bahasa yang digunakan, oleh masyarakat atau suku dibeberapa daerah lain di sulawesi selatan, baik dari dialek dan intonasi katanya.

Bahasa yang digunakan oleh masyarakat dongi, lebih mendekati bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku pamona di provinsi sulawesi tengah, demikian juga dengan tradisi adat dan budaya mereka juga ada kemiripan.

Jika masyarakat dongi mempunyai tradisi budaya yang namanya maddero, demikian halnya juga dengan masyarakat pamona, selain itu baju adat yang digunakan masyarakat pamona, juga sama dengan yang dipakai oleh orang dongi.

Adanya kemiripan baik bahasa dan adat istiadat masyarakt dongi dengan suku pamona, dikarenakan wilayah kecamatan nuha, letaknya pas perbatasan dengan daerah bungku, sulawesi tengah.

Dengan masuknya perusahaan tambang di kecamatan nuha, sejak puluhan tahun lalu, keberadaan perkampungan masyarakat adat dongi, nyaris tak terlihat lagi, hal ini diakibatkan tanah yang mereka jadikan dulunya sebagai perkampungan, dimana komunitas dongi berkumpul, sedikit demi sedikit, digilas oleh kendaraan alat berat milik perusahaan pertambangan.

Hal inilah yang menyebabkan masyarakat dongi, terpaksa menyebar di beberapa daerah atau perkampungan, dan ada juga yang berpinda tempat tinggal ke daerah sulawesi tengah, bahkan tidak sedikit dari mereka, harus tinggal di dalam hutan belantara.

Kamis, 10 Januari 2008

Maegga ade" mattettei seddi, ri sulawesi

SULAWESI SELATAN.
Adalah salah satu pulau yang berada dalam naungan NKRI, yang dulunya dikenal dengan nama celebes, dimana masyarakatnya hidup dalam berbagai keragaman tradisi adat dan budaya.

Jika masyarakat luar mengenal Sulawesi selatan, dengan suku bugis dan makassar, namun lain halnya jika kita telah menginjakan kaki di pulau yang letaknya berada ditengah-tengah kepulauan indonesia ini.

Di daratan sulawesi selatan, tentunya dihuni dengan berbagai suku yang tentunya memiliki beraneka ragam tradisi adat dan budaya, dimana masing masing daerah memiliki tradisi adat yang berbeda-beda.

Di tana ugi atau lebih dikenal dengan tana bugis, memiliki beraneka ragam tradisi adat dan budaya, dimana tana ugi, mencakup daerah, maros, soppeng, sidrap, bone, sinjai, pinrang, pangkajene, barru, pare-pare, wajo, bulukumba dan bantaeng.

Sementara suku makassar, atau dikenal dengan sebutan mangkassara, juga memiliki tradisi dan keaneka ragaman budaya, jika kita perpedoman dari bahasa yang digunakan sehari-hari masyarakatnya, maka empat daerah yang bahasanya mirip yaitu, daerah jeneponto, takalar, gowa dan makassar.

Selain suku bugis-makassar, disulawesi selatan, juga ada daerah yang mempunyai bahasa, tradisi dan adat istiadat yang berbeda, yaitu luwu dan tana toraja.

Masyarakat tana toraja, memiliki bahasa dan tradisi adat yang jauh berbeda dari masyarakat suku bugis dan makassar.

Sementara di tana luwu yang kini telah dimekarkan menjadi empat kabupaten, yaitu luwu, luwu utara, luwu timur, dan kota palopo. masyarakatnya menggunakan bahasa sehari-hari yaitu bahasa luwu, yang pengucapan dan intonasinya, sedikit ada kemiripan dengan bahasa toraja.

Namun sebagian juga masyarakat luwu mengunakan bahasa bugis, diluar dari penduduk jawa, bali, dan madura, serta flores, yang didatangkan ketana luwu dalam program pemerintah yang disebut transmigasi, dan kini juga suda mulai banyak bermukim ditana luwu, khususnya di daerah luwu timur dan luwu utara.

Lain halnya di kabupaten enrekang, bahasa sehari-hari masyarakatnya, juga memiliki dialek yang berbeda dari bahasa daerah lain, dimana bahasa yang masyarakat masenreng pulu gunakan, adalah perpaduan antara bahasa toraja dan bugis.

hal ini mungkin diakibatkan karena daerah enrekang, letaknya berada ditengah-tengah atau perbatasan antara kabupaten pinrang, yang mana masyarakatnya menggunakan bahasa bugis, dan perbatasan kabupaten tana toraja, di mana masyarakatnya sangat kental menggunakan bahasa toraja.

Dengan banyaknya daerah yang ada disulawesi selatan, tentunya membuat daerah ini dihiasi dengan beraneka ragam tradisi adat dan budaya, yang selalu dituangkan oleh masyarakatnya dengan kreativitas seni musik dan tari tradisional.

Karaeng gowa ri balla lompoa

Balla lompoa. atau dalam bahasa indonesianya balla adalah rumah, sedangkan lompoa adalah besar, salah satu rumah adat peninggalan kerajaan gowa, yang hingga saat ini masih tetap dipertahankan keberadaanya oleh generasi penerus kerajaan gowa.

Balla lompoa yang berada di tengah-tengah jantung kota kabupaten gowa ini, telah mengalami beberapa kali renovasi bangunan, namun renovasi itu, tidaklah merubah bentuk aslinya.

Hingga saat ini generasi penerus atau pewaris tahta kerajaan gowa, merawat dan menjadikan balla lompoa sebagai istana kerajaan, dimana didalam bangunan ini masih tersimpan berbagai macam benda-benda peninggalan kerajaan.

Di balla lompoa inilah, setiap tahunya saat peringatan perayaan idul adha, pewaris kerajaan menggelar kegiatan yang dinamakan accera kalompoa, atau pencucian benda-benda pusaka peninggalan raja-raja.

kegiatan accera kalompoa, adalah kegiatan yang telah dilakukan oleh raja-raja gowa terdahulu, dan diwariskan kepada pewaris kerajaan, yang mana hingga saat ini accera kalompoa, telah menjadi agenda kegiatan tahunan.

Selain rumah istana balla lompoa yang menjadi bukti sejarah kebesaran kerajaan gowa, hingga kini juga masih ada makam raja-raja yang pernah memimpin kerajaan, dan sisa-sisa bangunan benteng perjuangan, serta berbagai tradisi adat yang diramuh menjadi tari-tarian yang menggambarkan adat dan budaya kerajaan gowa.